Salah satu syarat sah shalat ialah menghadap kiblat. Arah kiblat umat
Islam seluruh dunia ialah Ka’bah yang berada di Makkah. Seseorang yang tidak
menghadap kiblat saat shalat, dihukumi tidak sah, kecuali dalam dua kondisi,
yakni ketika shalat khauf dan shalat sunnah yang dilaksanakan di atas
kendaraan. Hal ini dinyatakan oleh Imam Abu Ishak al-Syairazi dalam kitab
Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syᾱfi’i sebagai berikut:
استقبال
القبلة شرط في صحة الصلاة إلا في حالين في شدة الخوف وفي النافلة في السفر[1]
Artinya: “Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat kecuali dalam dua
kondisi, yakni ketika kondisi teramat bahaya (perang berkecamuk) dan shalat
sunnah yang dikerjakan saat perjalanan”. Terkait kewajiban menghadap kiblat
saat shalat, memiliki dua kondisi yang berbeda dan berakibat kepada konsekwensi
hukum yang berbeda pula. Bila Ka’bah tampak langsung di depan mata, maka wajib
menghadap ‘ain (dzat) Ka’bah tersebut. Namun para ulama madzhab berbeda
pendapat bila dalam kondisi jauh dari Ka’bah, sebagaian ulama dari satu madzhab
berpendapat bahwa yang wajib dihadap adalah ‘ain (dzat) ka’bah dan sebagian
madzhab yang lain berpendapat yang wajib dihadap hanyalah arahnya saja. Berikut
penulis paparkan perbedaan pandangan ulama madzahib arba’ah dalam memaknai kewajiban
menghadab kiblat saat shalat bila dalam keadaan jauh dari Ka’bah:
1) Madzhab Hanafi Ulama Madzhab
Hanafi berpendapat perihal menghadap kiblat dalam shalat
bila jauh dari Ka’bah, adalah cukup dengan menghadap arahnya, tidak harus
menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah. Pendapat ini sama dengan pandangan dalam madzhab
Maliki, sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni berikut:
وذهب الحنفية
والمالكية إلى أنّ الواجب استقبال جهة الكعبة[2].
Artinya: “Ulama madzhab Hanafi
dan Maliki berpendapat bahwa sesungguhnya yang wajib adalah menghadap arah
Ka’bah”. Terkait kewajiban menghadap kiblat saat shalat bila jauh dari Ka’bah,
Syaikh Abdurrahman Al-Jazari menjelaskan pandangan ulama madzhab Hanafi sebagai
berikut:
الحنفية
قالوا: من يجهل القبلة ويريد أن يستدل عليها لا يخلو حاله إما أن يكون في بلدة أو
قرية. وإما أن يكون في الصحراء ونحوها … فإن كان الشخص في بلد من بلدان المسلمين.
وهو يجهل جهة القبلة. فإن له ثلاث حالات: الحالة الأولى: أن يكون في هذه البلدة
مساجد بها محاريب قديمة. وضعها الصحابة أو التابعون … وفي هذه الحالة يجب عليه أن
يصلي إلى جهة هذه المحاريب القديمة[3].
Artinya: “Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa seseorang yang jahil
akan kiblat dan berencana untuk mencari petunjuknya, maka tidak akan sunyi
keadaannya adakala berada dalam sbuah ngeri atau perkampungan dan adakala
berada di padang atau seumpamanya… Maka jika sseorang tersebut berada di suatu
negeri orang-orang Islam, dan dirinya tidak mengetahui arah kiblat, maka
berlaku baginya tiga kondisi. Kondisi yang pertama adalah dalam negeri tersbut
ada mesjid-mesjid yang mempunyai mihrab masa dahulu yang dibuat oleh para
sahabt dan para tabi’in, maka dalam keadaan ini wajib atasnya untuk sembahyang
menghadap searah mihrab terdahulu tersebut”
. الحالة الثانية: أن يكون جهة ليست بها محاريب قديمة. وفي هذه الحالة يجب
أن يعرف القبلة بالسؤال عنها[4] Artinya: “Keadaan yang kdua adalah keberadaan
orang tersebut di arah yang tidak ada mihrab masa lalu di tempat tersebut. dan
pada keadaan ini wajib atasnya mengetahui kiblat dengan cara menanyakannya”.
الحالثة
الثالثة: أن لا يجد محراباً ولا شخصاً يسأله، وفي هذه الحالة عليه أن يعرف القبلة
بالتحري، بأن يصلي إلى الجهة التي يغلب على ظنه أنها جهة القبلة[5]
Artinya: “Kondisi yang ketiga adalah tidak ada mihrab dan tidak ada
orang yang bisa ditanyai. Maka pada kondisi ini wajib atasnya untuk mengetahui
kiblat dengan ber-ijtihᾱd, dengan cara seseorang tersebut shalat ke arah yang
didominan oleh sangkaannya bahwa arah tersebut adalah arah kiblat”
. أما إن كان مسافراً في الصحراء ونحوها من الجهات التي ليس بها سكان من
المسلمين، فإنه إذا كان عالماً بالنجوم، ويعرف اتجاه القبلة بها أو بالشمس أو
القمر، فذاك، وإن لم يكن عالماً ووجد شخصاً عارفاً بالقبلة، فإنه يجب عليه أن
يسأله. وإذا سأله ولم يجبه، فعليه أن يجتهد في معرفة جهة القبلة بقدر ما يستطيع،
ثم يصلي[6] Artinya: “Adapun jika keadaan orang tersebut dalam musafir di
lapangan atau seumpamanya yang tidak ada tempat tinggal orang-orang muslim,
maka jika dirinya mampu mengetahui kiblat dengan bintang, dan mengetahui arah
menghadapnya dengan bintang tersebut atau dengan matahari atau bulan, maka
lakukanlah demikian. Namun jika dirinya tidak mungkin mengetahuinya dan bertemu
dengan orang yang mengetahui kiblat, maka wajib atasnya untuk bertanya, tapi
bila saat ditanya dan tidak mendapat jawaban, maka wajib atasnya ber-ijtihᾱd
untuk mengetahui arah kiblat dengan ukuran semampunya, kemudian laksanakan
shalat”. Dari keterangan ini tampak jelas bahwa yang wajib perihal menghadap
kiblat bagi oang yang jauh dari Ka’bah menurut madzhab Hanafi adalah hanya
wajib menghadap arah Ka’bah saja dengan konsekuensi bila seseorang berada di
daerah pemukiman wajib atasnya mengikuti mihrab masjid masa lalu atau bertanya
pada orang lain di tempat tersebut atau ber-ijtihad sendiri mencari ke mana
arah kiblat. Bila dia berada bukan di daerah pemukiman orang Islam, maka wajib
baginya ber-ijtihᾱd sendiri mencari arah kiblat, bila tidak bisa baru bertanya
pada orang lain”.
2) Madzhab Maliki Adapun dalam
madzhab Maliki, ketentuan menghadap kiblat dalam sembahyang bagi orang yang
jauh dari Ka’bah adalah sebagai berikut:
المالكية
قالوا: يجب على من كان بمكة أو قريباً منها أن يستقبل القبلة بناء الكعبة، بحيث
يكون مسامتاً لها بجميع بدنه، ولا يكفيه استقبال هوائها، على أنهم قالوا: إن من
صلى على جبل أبي قبيس فصلاته صحيحة، بناءً على القول المرجوح من أن استقبال الهواء
كاف[7]
Artinya: “Ulama madzhab
Malikiyyah berpendapat; Wajib atas orang yang berada di Makkah atau di dekatnya
untuk menghadap kiblat pada fisik bangunan Ka’bah, sekira-kira keadaan orang
tersbeut setentang Ka’bah dengan sekalian tubuhnya dan tidak cukup hanya
menghadap hawa Ka’bah, berdasarkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa
terkait seseorang yang shalat di bukit Abi Qubis, maka shalatnya sah, pendapat
tersebut berdasarkan pendapat lemah dari pendapat menghadap hawa Ka’bah adalah
memada”
. إذا كان المصلي في جهة لا يعرف القبلة، فإن كان في
هذه الجهة مسجد به محراب قديم، فإنه يجب عليه أن يصلي إلى الجهة التي فيها ذلك
المحراب[8]
Artinya: “Apabila orang yang
shalat berada di arah yang tidak diketahui kiblatnya, maka jika pada arah
tersebut ada mesjid yang mempunyai mihrab masa dahulu, maka wajib atasnya untuk
shalat ke arah yang dihadap mihrab tersebut”
. فإن وجد في جهة ليس بها محاريب وكان يمكنه أن يتحرى
جهة القبلة، فإنه يجب عليه أن يتحرى، ولا يسأل أحداً، الا إذا خفيت عليه علامات
القبلة، وفي هذه الحالة يلزمه أن يسأل عن القبلة شخصاً مكلفاً عدلاً، عارفاً بأدلة
القبلة، ولو كان أنثى أو عبداً. هذا إذا كان أهلاً للتحري وللاجتهاد، فإن لم يكن
أهلاً لذلك، فإنه يجب عليه أن يسأل شخصاً مكلفاً عدلاً عارفاً بالقبلة، فإن لم يجد
من يسأله فإنه يصلي إلى أي جهة يختارها وتصح صلاته[9]
Artinya: “Maka jika seseorang tersebut berada di arah yang tidak ada
mihrab masa lalu dan dia mungkin untuk mengetahui arah kiblat, maka wajib
atasnya untuk ber-ijtihᾱd dan tidak bolh bertanya pada seorang pun kecuali
tersembunyi tanda-tanda kiblat darinya. dan pada kondisi ini, sseorang tersebut
wajib bertanya pada orang yang mukallaf lagi adil dan mengetahui tanda-tanda
kiblat, sekalipun orang tersebut adalah perempuan dan hamba sahaya. Keadaan ini
apabila orang tersebut adalah orang yang sanggup ber-ijtihᾱd, jika dia tidak
sanggup ber-ijtihᾱd, maka wajib atasnya untuk bertanya pada orang lain yang
mukallaf, adil dan mengetahui arah kiblat. Jika dia tidak mendapati orang
tempat bertanya, maka dia harus shalat ke arah mana saja yang dia pilih dan
sahlah shalatnya tersebut”. Dari uraian di atas dapat difahami bahwa dalam
madzhab Maliki sebagaimana pula dalam madzhab Hanafi terkait kewajiban
menghadap kiblat bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah hanya wajib menghadap
arahnya saja, dengan cara berpedoman pada mihrab masa dahulu atau ber-ijtihᾱd
sendiri mencari tanda-tanda arah kiblat atau dengan bertanya kepada orang lain
yang mengerti arah kiblat.
3) Madzhab Syᾱfi’i Sedangkan dalam madzhab Syᾱfi’i
perihal menghadap kiblat bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah wajib menghadap
‘ain (fisik) Ka’bah, bukan arahnya. Pendapat ini hamper sama dengan pandangan
dalam madzhab Hambali. Namun menurut Imam Hambali bila jauh dari Ka’bah yang
wajib adalah menghadap arahnya saja. Sebagaimana yang dijelaskan Syaikh
Muhammad Ali al-Shabuni berikut:
فذهب الشافعية والحنابلة إلى أن الواجب استقبال عين
الكعبة[10].
Artinya: “Ulama madzhab Syᾱfi’i dan Hambali berpendapat bahwa
sesungguhnya yang wajib adalah menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah”. Pernyataan ini
juga didukung oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab Fiqh ‘ala
al-Madzahib al-Arba’ah sebagai berikut:
الشافعية
قالوا: يجب على من كان قريباً من الكعبة أو بعيداً عنها أن يستقبل عين الكعبة، أو
هواءها المتصل بها، كما بيناه أعلى الصحيفة، ولكن يجب على القريب أن يستقبل عينها
أو هواءها يقيناً بأن يراها أو يلمسها أو نحو ذلك مما يفيد اليقين، أما من كان
بعيداً عنها فإنه يستقبل عينها ظناً لا جهتها على المعتمد[11]
Artinya: “Ulama Syᾱfi’iyyah
berpendapat; Wajib atas seseorang yang berada di dekat Ka’bah atau jauh dari
Ka’bah untuk menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah atau hawanya yang bersambung dengan
‘ain (fisik) Ka’bah tersebut sebagaimana yang telah kami nyatakan di bagian
atas lembaran, akan tetapi bagi orang yang di dekat Ka’bah wajib menghadap ‘ain
(fisik) Ka’bah tau hawanya dengan secara yakin dengan cara melihat langsung
atau menyentuhnya atau dengan cara lain yang dpat meyakinkan. Sedangkan bagi
orang yang jauh, maka wajib menghadap ‘ain (fisik) cukup dengan dzhan (dugaan
kuat), bukan menghadap arahnya berdasarkan pendapatt kuat”. Mkasud dari
menghadap ‘ain Ka’bah adalah menghadap bangunan Ka’bah dan tempat yang
setentang dengan bangunan Ka’bah, baik dari dasar bumi atau dari udara, berikut
penjelasan dari Syaikh al-Syarwani:
والمراد
بعينها جرمها أو هواؤها المحاذي إن لم يكن المصلي فيها[12]
Artinya: “Maksud dari ‘ain Ka’bah adalah bangunannya atau di udara yang
setentang dengannya, ini jika orang yang shalat tersebut bukan di dalamnya”.
Ada dua kondisi terkait menghadap kiblat yang akan memberikan konsekuensi hukum
yang berbeda, hal ini dijelaskan oleh Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf
al-Fairuzzabadi al-Syairazi sebagai beikut:
فإن كان
بحضرة البيت لزمه التوجه إلى عينه... وإن لم يكن بحضرة البيت نظرت فإن عرف القبلة
صلى إليها وإن أخبره من يقبل خبره عن علم قبل قوله ولا يجتهد …وإن رأى محاريب
المسلمين في موضع صلى إليها ولا يجتهد لأن ذلك بمنزلة الخبر وإن لم يكن شيء من ذلك
نظرت فإن كان ممن يعرف الدلائل فإن كان غائباً عن مكة اجتهد في طلب القبلة لأن له
طريقاً إلى معرفتها بالشمس والقمر والجبال والرياح … فكان له أن يجتهد كالعالم في
الحادثة [13].
Artinya: “Apabila ia berada di dalam bait (Masjidil Haram), maka wajib
baginya menghadap ‘ain kiblat… Apabila ia tidak berada didalamnya, maka dilihat
dulu, jika ia tahu letak kiblat, maka sholat menghadap arah tersebut, jika ada
seorang terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar tersebut dan tidak
perlu ber-ijtihᾱd lagi…jika ia melihat mihrab muslimin di suatu tempat, maka
shalat menghadap ke arah mihrab tersebut dan tidak perlu ijtihᾱd, karena hal
itu sama saja seperti sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun, maka dilihat dulu,
jika ia adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, sedangkan kondisinya
jauh dari Makkah, ia mesti berijtihᾱd mencari arah kiblat menggunakan metode
bisa dari melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup…maka wajib
baginya ber-ijtihᾱd sebagaimana orang alim ber-ijtihᾱd persoalan fiqh terbaru”.
Dari ta’bir di atas bisa dipahami bahwa jika seseorang berada di dalam Masjidil
Haram, maka yang dihadap olehnya haruslah “benda” Ka’bah itu sendiri dengan
secara yakin. Jika ia berada di luar Masjidil Haram, termasuk di Indonesia,
maka menghadap fisik Ka’bah cukup dengan dzhan (dugaan kuat). Kendatipun ada
sebagian ulama madzhab Syᾱfi’i yang membolehkan manghadap kiblat dengan arah
Ka’bah saja, namun hal tersebut diluruskan oleh Syaikh Abdurrahman Ba’alawi,
dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin yang berpendapat bahwa ketentuan bolehnya
menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah), itu bila seseorang tidak mengetahui
tanda-tanda letak geografis persis dari fisik Ka’bah, berikut keterangan
beliau:
مَحَلُّ اْلإِكْتِفَاءِ
بِالْجِهَّةِ عَلَى الْقَوْلِ بِهِ عِنْدَ عَدَمِ الْعِلْمِ بِأَدِلَّةِ الْعَيْنِ
إِذِ الْقَادِرُ عَلَى الْعَيْنِ إِنْ فُرِضَ حُصُوْلُهُ بِاْلإِجْتِهَادِ لاَ
يُجْزِيْهِ اسْتِقْبَالُ الْجِهَّةِ قَطْعًا وَمَا حَمَلَ الْقَائِلِيْنَ
بِالْجِهَّةِ ذَلِكَ إِلاَّ كَوْنُهُمْ رَأَوْا أَنَّ اسْتِقْبَالَ الْعَيْنِ
بِاْلإِجْتِهَادِ مُتَعَذِّر [14]
Artinya: “Ketentuan cukup menghadap arah (berdasarkan atas pendapat
demikian) adalah saat tidak mengetahui tanda-tanda keberadaan fisik Ka’bah
(a’inul Ka’bah). Karena orang yang mampu mengetahui Ka’bah bila diandaikan bisa
dihasilkan dengan ber-ijtihᾱd, maka ia tidak cukup menghadap arah saja secara
pasti (tanpa khilafiyyah). Tidak ada yang mendorong ulama yang membolehkan
menghadap ke arah Ka’bah melainkan mereka memandang bahwa menghadap Ka’bah
dengan berijtihᾱd itu sulit dilakukan”. Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam madzhab Syᾱfi’i terkait perihal menghadap kiblat,
menurut pendapat kuat yang wajib adalah menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah, bukan arah
Ka’bah. Bila orang tersebut jauh dari Ka’bah, maka dia harus mencari keberadaan
‘ain (fisik) Ka’bah dengan dzhan (dugaan kuat). Jika ia tahu arah kiblat, maka
sholat menghadap arah tersebut, jika ada seorang terpercaya yang mengabarinya,
maka terima kabar tersebut dan tidak perlu ber-ijtihᾱd lag. Jika ia melihat
mihrab muslimin di suatu tempat, maka shalat menghadap ke arah mihrab tersebut
dan tidak perlu ijtihᾱd, karena hal itu sama saja seperti sebuah kabar. Jika
tidak ada sesuatu pun dan ia adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda,
maka ia mesti ber-ijtihᾱd mencari arah kiblat menggunakan metode dari melihat
matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup, maka wajib baginya
ber-ijtihᾱd sebagaimana orang alim ber-ijtihᾱd persoalan fiqh terbaru”. d)
Madzhab Hambali Sebagaimana penjelasan di atas bahwa dalam madzhab Hambali
wajib menghadap kiblat dengan menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah langsung bagi orang
yang dekat dengan Ka’bah, Namun bila jauh dari Ka’bah maka yang wajib hanya
menghadap arahnya saja, berikut keterangan dari Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi
dalam Hasyiyyah-nya:
واعتبر الإمام مالك الجهة، والإمام أحمد اعتبر العين
مع القرب والجهة مع البعد، واعتبر الإمام أبو حنيفة جزءا من قاعدة، مثلث زاويته
العظمى عند ملتقى بصره[15]
Artinya: “Imam Malik meng-i’tibar makna arah, sedangkan Imam Ahmad
meng-i’tibar makana ‘ain bagi orang yang dekat dan makna arah bagi orang yang
jauh. Adapun Imam Abu Hanifah meng-i’tibar makna juzuk (bagian) dari qaidah:
“Tiga sudut Ka’bah adalah bagian terbesar yang tampak saat memandangnya”. Ibn
Qudamah al-Maqdisi salah seorang ulama madzhab Hambali juga menyatakan hal yang
sama dalam karya beliau sebagai berikut:
الثاني: من
فرضه إصابة جهة الكعبة، وهو البعيد عنها فلا يلزمه إصابة العين، لقول النبي -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «ما بين المشرق والمغرب قبلة»[16]
Artinya: “Keadaan yang kedua adalah seseorang yang hanya wajib tepat
menghadap arah Ka’bah, yaitu orang yang jauh dari Ka’bah. Maka tidak wajib
baginya tepat menghadap ‘ain fisik Ka’bah, karena sabda Nabi saw; “Diantara
timur dan barat adalah kiblat”. Dalam madzhab Hambali yang menjadi salah satu
poin pandangan yang berbeda dari madzhab yang lain terkait masalah kiblat
menjadikan syadzarwan (pondasi Ka’bah) atau bagian loteng Ka’bah menjadi bagian
dari Ka’bah. Demikian penjelasannya:
الحنابلة
قالوا: إن الشاذروان وستة أذرع من الحجر وبعض ذراع فوق ذلك من الكعبة، فمن استقبل
شيئاً من ذلك صحت صلاته [17].
Artinya: “Ulama madzhab Hambali
berpendapat bahwa sesungguhnya syadzarwan (pondasi Ka’bah), enam hasta hajar
aswad dan sebagian hasta di atasnya. Maka siapa saja yang menghadap satu bagian
dari demikian, shalatnya dianggap sah”. Dari penjelasan ini dapat difahami
bahwa pandangan madzhab Hambali hampir sama dengan pandangan dalam madzhab
Syafi’iyyah terkait kewajiban menghadap kiblat dalam shalat, yaitu wajib
menghadap ‘ain Ka’bah bila dekat dengan Ka’bah, namun bila jauh dari Ka’bah
menurut madzhab Hambali hanya wajib menghadap arah saja. Dalil Menghadap Kiblat
Dalam Shalat Menurut Al-Madzᾱhib Al-Arba’ah Dari keterangan di atas dapat
difahami bahwa diantara ulama Al-Madzᾱhib Al-Arba’ah saling selisih faham dalam
menetapkan hukum kewajiaban menghadap kiblat dalam shalat, terlebih lagi saat
jauh dari Ka’bah. Menurut madzhab Syᾱfi’i wajib menghadap kiblat dalam shalat
dengan cara menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah, baik bagi orang yang berada di dekat
Ka’bah ataupun orang yang jauh, hanya sanya bagi orang yang dekat diwajibkan
menghadap ‘ain Ka’bah secara yakin, sedangkan orang yang jauh cukup dengan
dzhan (dugaan kuat). Berikut beberapa dasar dalil yang dijadikan ulama
Syafi’iyyah sebagai dalil dalam menentukan kewajiban menghadap kiblat adalah
wajib menghadap ‘ain Ka’bah, diantaranya yaitu:
استدل
الشافعية والحنابلة على مذهبهم بالكتاب، والسنة، والقياس. أما الكتاب، فهو ظاهر
هذه الآية {فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام}[18].
Artinya: “Ulama madzhab Syᾱfi’i dan Hambali mendasari pendapat mereka
dengan Al-Qur’an, Hadis dan Qiyᾱs. Adapun Al-Quran, maka hal itu adalah zahir
ayat ini (Maka palingkanlah hadapan mu ke bagian Masjidil Haram)”.
وأما السنة:
فما روي في «الصحيحين» عن أسامة بن زيد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أنه قال: «لمّا دخل
النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ البيت دعا في نواحيه كلّها، ولم يصلّ
حتى خرج منه، فلمّا خرج صلى ركعتين من قِبَل الكعبة، وقال: هذه القبلة» . قالوا:
فهذه الكلمة تفيد الحصر، فثبت أنه لا قبلة إلا عين الكعبة. [19].
Artinya: “Adapun dalil hadis
adalah hadis yang diriwayat dalam dua kitab Shahih diambil dari Usamah ibn
Yazid ra, beliau berkata; Manakala Nabi saw masuk ke dalam Ka’bah, beliau
berdia pada tiap-tiap bagiannya dan tidak shalat hingga beliau keluar dari
Ka’bah tersebut. Manakala beliau keluar, lalu beliau shalat dua raka’at
menghadap Ka’bah, lantas beliau bersabda; Ini adalah Kiblat. Maka ulama madzhab
Syafi;iyyah dan Hambaliyyah berpendapat bahwa kalimat tersebut adalah hasr
(pengkhususan), maka pemahannya tidak ada kiblat lain kecuali itulah ‘ain
Ka’bah”. وأما القياس: فهو أنّ مبالغة الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ
في تعظيم الكعبة، أمر بلغ مبلغ التواتر، والصلاة من أعظم شعائر الدين، وتوقيفُ
صحتها على استقبال عين الكعبة يوجب مزيد الشرف، فوجب أن يكون مشروعاً. [20].
Artinya: “Adapun qiyᾱs, maka qiyᾱs-nya adalah bahwa sesungguhnya
bersangatan Rasulullah dalam memuliakan Ka’bah adalah sebuah urusan yang sudah
sampai pada tingkat tawatur. dan shalat adalah sebagaian dari syi’ar agama
terbesar. dan perihal ketergantungan sahnya di atas menghadap ‘ain Ka’bah
membawa kepada bertambahnya kemuliaan, maka wajiblah bahwa hal demikian itu
juga disyari’atkan”
. وقالوا أيضاً: كونُ الكعبة قبلة أمر مقطوع به، وكون
غيرها قبلة أمر مشكوك فيه، ورعايةُ الاحتياط في الصلاة أمر واجب، فوجب توقيف صحة
الصلاة على استقبال عين الكعبة. [21].
Artinya: “Ulama Syᾱfi’iyyah dan Hambaliyyah juga berargumen bahwa
keadaan Ka’nah sebagai kiblat adalah sebuah urusan yang dapat dipastikan,
sedangkan keadaan selain Ka’bah dijadikan sebagai kiblat adalah sebuah urusan
yang masih diragukan. Sedangkan menjaga kehati-hatian dalam shalat adalah
urusan yang wajib, maka wajiblah menggantungkan sah shalat di atas menghadap
‘ain Ka’bah”. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil madzhab
Syᾱfi’i dan Hambaliah terkait kewajiban menghadap kiblat dalam shalat adalah
didasari pada empat dalil, yaitu:
1.
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 144,
memahami dari kata “al-syathr” yang
berarti arah,
maksudnya adalah arah yang setentang dan tepat antara diri orang yang shalat
dan ‘ain (fisik) Ka’bah.
2.
Hadis Sahih yang berfaedah kepada
hashar (pengkhususan) kiblat hanya pada ‘ain (fisik) Ka’bah.
3.
Di-qiyᾱs-kan dengan sikap Nabi yang sangat
memuliakan Ka’bah, maka dalam shalat menghadap Ka’bah pun harus lebih
dimuliakan lagi, maka tampaklah mulia Ka’bah dengan menghadap ‘ain (fisik)
Ka’bah itu sendiri, bukan arahnya.
4.
Ihthiyath (kehati-hatian) dalam
memenuhi syarat sah shalat, yaitu menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah adalah sebuah
kepastian terhitung sebagai kiblat, sedangkan arah Ka’bah masih diragukan
sebagai kiblat. Sedangkan dalam madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hambaliyyah,
wajib menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah terkhusus hanya bagi orang yang dekat
dengan Ka’bah, sedangkan orang yang jauh, hanya diwajibkan menghadap arah
Ka’bah saja, berikut keterangannya:
واعتبر الإمام مالك الجهة، والإمام أحمد اعتبر
العين مع القرب والجهة مع البعد، واعتبر الإمام أبو حنيفة جزءا من قاعدة، مثلث
زاويته العظمى عند ملتقى بصره[22]
Artinya: “Imam Malik
meng-i’tibar makna arah, sedangkan Imam Ahmad meng-i’tibar makana ‘ain bagi
orang yang dekat dan makna arah bagi orang yang jauh. Adapun Imam Abu Hanifah
meng-i’tibar makna juzuk (bagian) dari qaidah: “Tiga sudut Ka’bah adalah bagian
terbesar yang tampak saat memandangnya”. Berikut penulis paparkan beberapa
dalil madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah, begitujuga yang digunakan dalam
madzhab Hambaliyyah dalam menetapkan hukum wajib menghadap kiblat dalam shalat
hanya wajib menghadap arahnya saja bila jauh dari Ka’bah, berikut
penjelasannya:
واستدل المالكية والحنفية على مذهبهم بالكتاب،
والسنة وعمل الصحابة، والمعقول. أما الكتاب: فظاهر قوله تعالى: {فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ المسجد الحرام} ولم يقل: شطر الكعبة، فإنّ من استقبل الجانب الذي فيه
المسجد الحرام، فقد أتى بما أمر به سواء أصابَ عين الكعبة أم لا [23].
Artinya: “Ulama
madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah mendasarkan dalil, di atas pendapat mereka
dengan Al-Qur’an, Hadis, amal sahabat dan rasional. Adapun Al-Qur’an, maka
pendapat demikian berdasarkan zahir ayat; (Maka palingkanlah hadapan mu ke arah
Masjidil Haram). Allah swt tidak berfirman; “syatr al-Ka’bah”. Maka sungguh
orang yang menghadap sisi yang pada sisi tersbut merupakan Masjidil Haram, maka
sungguh dia telah mengerjakan apa yang diperintahkan, baik hal tersebut
mengenai ‘ain Ka’bah atau tidak”. وأما السنة: فقوله عَلَيْهِ الصَّلَاة
وَالسَّلَام ُ: «ما بين المشرق والمغرب قِبْلةٌ» . وحديث: «البيتُ قبلةٌ لأهل
المسجد والمسجدُ قبلةٌ لأهل الحرم، والحرامُ قبلةٌ لأهل الأرض في مشارقها ومغاربها
من أمتي» [24]. Artinya: “Adapun hadis maka Rasulullah saw bersabda; Arah antara
timur dan barat adalah kiblat. dan hadis; Bait adalah kiblat bagi ahli masjid
ini dan masjid ini adalah kiblat bagi ahli tanah haram, dan tanah haram adalah
kiblat bagi ahli bumi yang ada di timur dan barat dari pada ummat ku”. وأما عمل
الصحابة: فهو أنّ أهل (مسجد قباء) كانوا في صلاة الصبح بالمدينة، مستقبلين لبيت
المقدس، مستدبرين الكعبة، فقيل لهم: إن القبلة قد حوّلت إلى الكعبة، فاستداروا في
أثناء الصلاة من غير طلب دلالة، ولم ينكر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
َ عليهم، وسُمّي مسجدهم (بذي القبلتين). ومعرفةُ عين الكعبة لا تعرف إلا بأدلة
هندسية يطول النظر فيها، فكيف أدركوها على البديهة في أثناء الصلاة، وفي ظلمة
الليل؟ [25]. Artinya: “Adapun praktik sahabat, maka demikian adalah praktik
ahli (masjid kuba), mereka shalat subuh di Madinah menghadap Bait al-Maqdis dan
membelakangi Ka’bah . Maka dikatakan kepada mereka; sesungguhnya kiblat sudah
dipalingkan ke Ka’bah, maka mereka berbalik pada pertegahan shalat tanpa perlu
mencari dalil, dan Nabi saw tidak memprotes mereka. Dan mesjid mereka dinamakan
dengan (Dzil Qiblatain). Padahal untuk mengetaui ‘ain Ka’bah tidak dapat
diketahui kecuali dengan dalil yang detil dan lama peninjauan padanya, maka
bagaimana mereka dapat mengetahuinya secara detil saat sedang shalat dan dalam
gelapnya malam”. وأما المعقول: فإنه يتعذر ضبط (عين الكعبة) على القريب من مكة،
فكيف بالذي هو في أقاصي الدنيا من مشارق الأرض ومغاربها؟ ولو كان استقبال عين
الكعبة واجباً، لوجب ألا تصحّ صلاة أحدٍ قط، لأن أهل المشرق والمغرب يستحيل أن
يقفوا في محاذاة نيّف وعشرين ذراعاً من الكعبة، ولا بدّ أن يكون بعضهم قد توجّه
إلى جهة الكعبة ولم يصب عينها، وحيث اجتمعت الأمة على صحة صلاة الكل علمنا أنّ
إصابة عينها على البعيد غير واجبة {لاَ يُكَلِّفُ الله نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا}
[البقرة: 286] [26]. Artinya: “Adapun dalil rasional, maka sesungguhnya keadaan
adalah ozor untuk menjangkau ‘ain Ka’bah bagi orang yang dekat dengan Makkah,
maka bagaimana dengan orang-orang yang ada diujung dunia dari timur dan barat?.
Jikalau menghadap ‘ain Ka’bah adalah sebuah kewajiban maka sungguh tidak sah
shalat seorang pun, karena ahli timur dan barat mustahil dapat berdiri pada
setentang lebih lagi dan 20 hasta dari Ka’bah. dan pasti sebagaian mereka akan
menghadap ke arah Ka’bah, tidak mengenai ‘ain-nya Ka’bah. Manakala telah
sepakat ummat di atas sah shalat semua orang, maka dapat kita ketahui bahwa
tepat mengenai ‘ain Ka’bah bagi orang yang jauh bukanlah kewajiban. (Allah
tidak akan membebani satu jiwa pun kecuali yang disanggupinya). [Al-Baqarah
ayat 286]. ومن جهة أخرى: فإن الناس من عهد النبي عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام
ُ بنوا المساجد، ولم يحضروا مهندساً عند تسوية المحراب، ومقابلةُ العين لا تُدرك
إلا بدقيق نظر الهندسة، ولم يقل أحد من العلماء إنّ تعلم الدلائل الهندسية واجب،
فعلمنا أن استقبال عين الكعبة غير واجب [27]. Artinya: “Dari sisi lain;
Sesungguhnya manusia dari masa Nabi saw membangun masjid-masjid dan mereka
tidak menghadiri seorang peneliti saat menyamakan mihrab. dan untuk setentang
dengan ‘ain Ka’bah tidak akan diperdapat kecuali dengan kehalusan tinjauan
seorang peneliti. Padahal tidak seorang pun ulama yang berkata bahwa
sesungguhnya mempelajari tanda-tanda penelitian adalah wajib. Maka dapat
diketahui bahwa menghadap ‘ain Ka’bah adalah tidak wajib”. Dari penjelasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan
Hambaliyyah terkait kewajiban menghadap kiblat dalam shalat adalah didasari
pada empat dalil, yaitu 1. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 144, memahami dari
kata “syathr al-masjid al-haram” yang berarti arah Masjidil Haram. Dalam ayat
tersebut tidak dikatakan arah Ka’bah, maka yang diperintah hanyalah menghadap
arah Masjidil Haram, bukan arah ‘ain Ka’bah. 2. Hadis shahih yang menyatakan
bahwa tanah haram adalah kiblat bagi semua orang yang ada di timur dan barat.
3. Praktik para Sahabat saat memalingkan kiblat dalam shalat, mereka menghadap
ke arah Ka’bah tanpa meneliti letak geografis ‘ain Ka’bah. Dalil secara
rasional bahwa mencari tau letak geografis arah ‘ain (fisik) Ka’bah adalah
suatu hal yang mustahil. Oleh karena itu hal demikian tidak diwajibkan dalam
shalat, melainkan yang diwajibkan hanyalah menghadap arah Ka’bah.
Referensi:
[1]Abu Ishak Ibrahim
bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam
al-Syᾱfi’i , juz. I, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.129
[2]Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.III, (Bairut:
Maktabah al-Ghazali, 1980) h.124
[3]Syaikh Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Kutub al-ilmiyah,
2003) h.179
[4]Syaikh Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.179
[5]Syaikh Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.179
[6]Syaikh Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.179-180
[7]Syaikh Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.177
[8]Syaikh Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.180
[9]Syaikh Abdurrahman
Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.180
[10]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’
al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.III, (Bairut: Maktabah al-Ghazali, 1980)
h.124
[11]Syaikh
Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.178
[12]Syaikh
al-Syarwani, Hasyiyyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Jld. I, (Beirut: Dar
Al-Fikr 2009), h.484
[13]Abu Ishak Ibrahim
bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam
al-Syᾱfi’i , juz. I, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.129
[14]Abdurrahman
Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M),
h. 39-40
[15]Ahmad ibn Ahmad
Al-Qulyubi, Hasyiyyah Qulyubi wa ‘Amirah, jld.I, (Maktabah Syamilah Ar-raudah
v.3.61, 2014), h.151
[16]Ibn al-Qudamah
al-Maqdisi, Al-Kafi fi Fiqh Imam Ahmad, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1994), h.234
[17]Abu Ishak Ibrahim
bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam
al-Syᾱfi’i , juz. I, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.129
[18]Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125
[19]Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125
[20]Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125
[21]Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125
[22]Ahmad ibn Ahmad
Al-Qulyubi, Hasyiyyah Qulyubi wa ‘Amirah, jld.I, (Maktabah Syamilah Ar-raudah
v.3.61, 2014), h.151
[23]Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126
[24]Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126
[25]Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126
[26]Syaikh Muhammad
Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126-127
[27]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni,
Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.127