About

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, Juli 25, 2024

Santri Darul Ulum Bayu Buloh Blang Ara, Kuta Makmur, ibda' kitab Tahun Ajaran Baru Bersama Yang Mulia Al Mukarram Abati buloh Tgk.H.Nuruddin Thayib

 Santri Darul Ulum Peuphon Kitab Dengan Yang Mulia Al Mukarram Abati Buloh   Blang Ara


Dayah Darul Ulum Buloh Blang Ara- Aceh dengan dayah tak dapat dipisahkan. Keberadaan dayah sendiri diyakini telah ada sejak masuknya agama Islam di Aceh. Berdasarkan catatan ahli sejarah disebutkan bahwa saat itu para pedagang dan mubaligh yang datang dari Arab berlabuh di daerah pesisir Sumatera. "Mereka selain melakukan aktivitas perdagangan, para pedagang dan mubaligh ini juga pro aktif menyebarkan agama Islam. Untuk lebih mempercepat proses penyebarannya, maka didirikanlah dayah yang pada waktu itu berfungsi sebagai media transformasi pendidikan Islam kepada masyarakat, "Sekian banyak tradisi yang melekat pada masyarakat namun terdapat pula sebuah kebiasaan di kalangan santri yang sudah menjadi tradisi turun-temurun dilakukan, yakni acara ibda` kitab yang dalam bahasa Aceh disebut peuphon kitab. Kegiatan ini bermakna pembacaan matan kitab secara simbolis oleh seorang ulama sepuh dayah (pesantren), pimpinan dayah, teungku senior dan sejenisnya kepada para santrinya," terangnya.

Peuphon kitab ini dilakukan dalam rangka menjemput keberkahan (tabarruk) dari ulama-ulama sepuh yang kalangan santri meyakini bahwa banyak keberkatan pada mereka selaku orang yang sudah lama mengabdikan hidupnya dengan mengajarkan ilmu agama kepada umat Nabi Muhammad saw. "Tabarruk atau mengharap berkah adalah menjadikan seseorang tempat atau sesuatu yang diharapkan berkahnya sebagai perantara menuju Allah swt. Tabarruk tidak hanya dilakukan oleh para santri, melainkan juga pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi Muhammad, seperti Khalid bin walid yang ber-tabarruk dengan rambut Nabi Muhammad.

Di kalangan dayah, pergantian tahun Hijriah mempunyai makna tersendiri dalam menjalankan roda pendidikan. Hal ini dikarenakan, selain mempunyai nilai historis dalam tarikh Islam tentang peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw, pergantian tahun Hijriah juga merupakan tahun ajaran baru di lembaga pendidikan dayah Darul Ulum. Dengan pergantian tahun Hijriah, berarti lembaga pendidikan dayah telah masuk pada tahun ajaran baru.

Sebagaimana diceritakan dalam kisah hilangnya mahkota sorban Kahalid bin Walid dalam Perang Yarmuk sehingga beliau mencarinya sampai ditemukan. Beliau pun menceritakan tentang kisah mahkota sorban tersebut, “Ketika Rasulullah melaksanakan ibadah umrah, kemudian ia mencukur rambutnya, lalu para sahabat berebutan rambut Rasulullah saw, sayalah pemenangnya dan saya simpan rambut tersebut di dalam mahkota sorbanku ini, maka saya tidak akan berperang dengan memakai sorban ini, melainkan Allah memberikan saya kemenangan.

Demikianlah kegiatan peuphon kitab yang dilakukan oleh para santri di dayah Darul Ulum dalam rangka menyambut tahun ajaran baru. Dengan adanya serangkaian acara ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat baru serta ketekunan dalam belajar. 

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

 اَللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الْحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً







Rabu, November 22, 2023

FAEDAH ILMU

Ilmu yang Bermanfaat Bukan Sekedar Dihafalkan

Tidak sedikit dari kita yang menuntut ilmu namun kadang tidak bermanfaat bagi si pemiliknya. Padahal ilmu yang disebut ilmu adalah jika bermanfaat dan bukan ilmu yang sekedar dihafalkan.  Yang dimaksud dengan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu syar’i atau ilmu agama yang diamalkan oleh si pemiliknya. Imam Syafi’i memiliki nasehat berharga di mana beliau berkata,

العلم ما نفع، ليس العلم ما حفظ

Ilmu adalah yang bermanfaat dan bukan hanya dihafalkan” (Siyar A’lamin Nubala, 10: 89).

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang semakin membuat seseorang mengenal Rabbnya. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bukan dicari untuk membanggakan diri dan sombong. Sehingga ketika orang di bawahnya menyampaikan suatu ilmu, ia pun menerima jika itu adalah kebenaran.

Ilmu yang bermanfaat membuat seseorang tidak gila dunia, tidak mencari popularitas dan tidak ingin dirinya tenar.

Ilmu yang bermanfaat tidak menjadikan seseorang sombong di hadapan yang lain dan tidak sampai membodoh-bodohi yang lain. Jika ada yang menyelisihi ajaran Rasul, maka ia mengkritiknya karena Allah, bukan marah  karena selain Allah atau bukan karena ingin meninggikan derajatnya.

Ilmu yang bermanfaat membuat seseorang suuzhon pada dirinya sendiri (artinya: merasa dirinya penuh kekurangan) dan husnuzhon (berprasangka baik) pada orang-orang yang berilmu sebelumnya (para salaf). Ia selalu berprasangka bahwa yang lebih salaf darinya lebih utama.

Kita saat ini telah hidup di zaman yang lebih banyak orator daripada alim yang banyak ilmu.

قال ابن مسعود: إنكم في زمان كثير علماؤه قليل خطباؤه، وسيأتي بعدكم زمان قليل علماؤه كثير خطباؤه.

Ibnu Mas’ud berkata, “Kalian hidup di zaman yang terdapat banyak ulama dan sedikit yang pintar berkoar-koar. Dan nanti setelah kalian akan ditemui zaman yang sedikit ulama namun lebih banyak orang yang pintar berkoar-koar.”

فمن كثر علمه وقل قوله فهو الممدوح، ومن كان بالعكس فهو مذموم.

Siapa yang lebih banyak ilmunya dan sedikit bicaranya, maka itulah yang terpuji. Dan jika sebaliknya, maka dialah yang tercela.

قال الأوزاعي: العلم ما جاء به أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، فما كان غير ذلك فليس بعلم.

Al Auza’i berkata, “Yang disebut ilmu adalah yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain itu maka bukanlah ilmu.” (Diringkas dari tulisan Ibnu Rajab Al Hambali dalam risalah “Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmi Kholaf”. Lihat di link di sini)

Oleh karena itu, kita diajarkan ketika shalat Shubuh saat hendak salam membaca do’a,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

[Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon thoyyibaa wa ‘amalan mutaqobbalaa] “Ya Allah, aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyyib dan amalan yang diterima” (HR. Ibnu Majah no. 925, shahih)

فنسأل اللَه تعالى علماً نافعاً، ونعوذ به من علم لا ينفع، ومن قلب لا يخشع، ومن نفس لا تشبع، ومن دعاء لا يسمع، اللهم إنّا نعوذ بك من هؤلاء الأربع.

Kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Allah menganugerahkan kita ilmu yang bermanfaat dan kita berlindung pada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas dan dari do’a yang tidak dikabulkan. Ya Allah, kami berlindung kepadamu agar dijauhkan dari keempat hal tadi.



Sumber https://rumaysho.com/2524-ilmu-yang-bermanfaat-bukan-sekedar-dihafalkan.html

Minggu, November 19, 2023

Cara I'rab Kalimat Fashlun

Empat Cara I'rab Kalimat Fashlun



Sebelum kita bahas tentang cara i'rab kalimat فصل, ada baik nya terlebih dahulu kita terangkan apa itu فصل, bagaimana pengertian nya?

Di dalam kitab Hasyiah Bajuri jilid 1, pada halaman 24, di sebutkan tentang pengertian Fashlun

Berikut ibarat nya :

ومعنى الفصل لغة الحاجز بين الشيئين

 واصطلاحا اسم لالفاظ مخصوصة دالة على معان مخصوصة مشتملة على فروع ومسائل غالبا

"Fashlun secara bahasa : penghalang di antara 2 perkara

Dan Fashlun pada istilah : satu nama bagi lafadh lafadh yang terkusus, lagi yang menunjuki di atas ma'na-ma'na yang terkusus, yang mencakupi di atas furu'-furu' (cabang) dan masalah-masalah secara kebiasaan. 

Selanjutnya kita akan menerangkan tentang 4 i'rab dari kalimat فصل. 

Di dalam kitab Tasywiqul khilan pada halaman 85 di sebutkan sebagai berikut :

وهو خبر لمبتدأ محذوف تقديره هذا فصل 

ويجوز ان يكون مبتدأ خبره محذوف تقديره فصل هذ محله

ويجوز ان يكون مفعولا لفعل محذوف تقديره اقرأ فصل

ويجوز جره ايضا على شذوذ

"Fashlun adalah khabar mubtada yang di buangkan takdir Haza Fashlun

Dan boleh pula fashlun sebagai mubtada dan khabar nya di buangkan takdir Fashlun Haza Mahalluhu

Dan boleh juga Fashlun sebagai maf'ul dari pie yang telah di buang taqdir nya Iqra' Fashlan

Dan juga boleh di baca jar, namun ini syazd"

Jadi kesimpulan dari ibarat ini, kalimat فصل boleh di i'rab 4 macam

1. Sebagai khabar dari mubtada yang telah di buang, taqdir nya هذا فصل (ini adalah satu fashal) 

2. Sebagai mubtada' dan khabar nya di buang, taqdir nya فصل هذا محله (fashal ini adalah tempat nya)

3. Sebagai maf'ul dafi fi'il yang telah di buang, taqdir nya اقرأ فصل (baca oleh mu akan fashal)

4. Di baca dengan baris jar, namun ini syadz (jarang terjadi)

Tentang taqdir nya, di di kitab Tasywiqul khilan tidak di sebutkan, namun menurut penulis, sebagaimana yang telah penulis dengar dari guru guru, kira kira taqdir begini قرأت هذا بفصل (aku baca ini dengan fashal)

 


Sabtu, November 18, 2023

ILMU SHARAF SANTRI ACEH, CARA MENG-'ILLAT RAMA ( رَمَي) Dengan Benar Dan Sempurna

 

Cara meng-'illat  "rama"  ( رَمَي) dengan benar dan sempurna.
SEPELE Tapi Tak Semua Santri INGAT.
ILMU SHARAF SANTRI ACEH, CARA MENG-'ILLAT RAMA ( رَمَي) Dengan Benar Dan Sempurna

Bagi akhi dan ukhti para kaum sarungan... mungkin kalau disuruh meng-'illat katimat  رَمَي  sangat mnganggap mudah dan sepela sekali, sehingga kebanyakan santri kelas satu langsung menjawab: dari bentuk asalnya yaitu "ramaya" ( رَمَيَ ) meninjau undang-undang ilmu sharaf, apabila terdapat huruf "ya" yang berharkat, sedangkan sebelumnya adalah huruf yang berharkat fatah, maka ya tersebut dipalingkan menjadi alif, jadilah  رَمَي .
Padahal yah sobat... untuk proses 'illat nya tidaklah sesingkat itu, tapi banyak proses-proses 'illat yang lain.

Misalnya... Apakah asal dari huruf ilat yang ada pada rama ( رَمَی ), nah ini perlu untuk di jelaskan terlebih dahulu dalam proses 'illat.

Oleh karena itu, disini mlalui catatan yang singkat ini ane ingin berbagi buat temen-temen yang baru belajar 'illat, bagaimana caranya meng-illat kalimat dengan baik, benar dan sempurna.

Untuk lebih mudah, ane buat poin-poin penting proses 'illat tersebut dalam bentuk 5 pertanyaan yang jikalau sohib sekalian bisa menjawabnya, berarti sohib skalian otomatis juga pasti bisa meng-illatnya dengan sempurna.

Berikut 5 pertanyaannya:

1. Apakah asal dari huruf ilat yang terdapat pada "rama" ( رَمَی ) ?

2. Mengapa dari bentuk asal ramaya ( رَمَيَ ) bisa berubah menjadi rama ( رَمَا ) yang mu'tal alif ?

3. Mengapa huruf "ya" yang berharkat fatah dipalingkan menjadi alif ?

4. Kemanakah harkat fatah yang ada pada huruf "ya" setelah dipalingkan menjadi alif ?

5. Mengapa alif pada rama ( رَمَا ) yang mu'tal alif ditulis dalam bentuk yaa ?

Sebagai jawabannya dan juga sekaligus cara meng-'illatnya sebagai berikut sobat...

1. Apakah asal dari huruf ilat yang terdapat pada "rama" ( رَمَی ) ?
Jawab: Asalnya adalah mu'tal ya, yaitu رَمَيَ , karena nampak pada masdarnya yaitu  رَمْيًا  رَمْيَۃً,  bukan mu'tal "waw" seperti  رَخَا  asalnya  رَخَوَ  dan mashdarnya  رَخَوَۃً .

2. Mengapa dari bentuk asal ramaya ( رَمَيَ ) bisa berubah menjadi rama ( رَمَا ) yang mu'tal alif ?
Jawab: karena menurut undang-undang ilmu sharaf, apabila terdapat huruf "ya" yang berharkat, sedangkan sebelumnya adalah huruf yang berharkat fatah, maka ya tersebut dipalingkan menjadi alif.

3. Mengapa huruf "ya" yang berharkat fatah dipalingkan menjadi alif ?
Jawab: Karena untuk menyesuaikan dengan harkat fatah sebelumnya, dan harkat fatah menjadi sesuai dengan adanya huruf alif didepannya, maka "ya" tersebut dipalingkan menjadi alif.

4. Kemanakah harkat fatah yang ada pada huruf "ya" setelah dipalingkan menjadi alif ?
Jawab: harkat fatah "ya" tersebut dengan secara tidak langsung akan hilang sendirinya ketika disebutkan huruf "ya" berpaling menjadi alif, karena alif adalah huruf yang kosong dari harkat dan tidak bisa menerima harkat.

5. Mengapa alif pada rama ( رَمَا ) yang mu'tal alif ditulis dalam bentuk yaa ?
Jawab: karena untuk menunjukkan huruf dasarnya adalah mu'tal "ya".

Bila kita satukan kelima jawaban diatas, maka akan memnjadi cara meng-'illat  رَمَی  yang sempurna,
demikianlah lebih kurangnya:

 "Rama" ( رَمَی ) Asalnya adalah fi'il madhi mu'tal "ya", yaitu رَمَيَ , karena nampak pada masdarnya yaitu  رَمْيًا  رَمْيَۃً,
dari bentuk asal ramaya ( رَمَيَ ) bisa berubah menjadi rama ( رَمَا ) yang mu'tal alif, karena menurut undang-undang ilmu sharaf, apabila terdapat huruf "ya" yang berharkat, sedangkan sebelumnya adalah huruf yang berharkat fatah, maka ya tersebut dipalingkan menjadi alif,
Karena untuk menyesuaikan dengan harkat fatah sebelumnya, dan harkat fatah menjadi sesuai dengan adanya huruf alif didepannya, maka "ya" tersebut dipalingkan menjadi alif.

Terimakasih. Salam santri Indonesia...

Hukum Dan Dalil Menghadap Kiblat Dalam Shalat Menurut Al-Madzᾱhib Al-Arba’ah Dalam Kitab Kuning

 Hukum Menghadap Kiblat Menurut Al-Madzᾱhib Al-Arba’ah 

 


Salah satu syarat sah shalat ialah menghadap kiblat. Arah kiblat umat Islam seluruh dunia ialah Ka’bah yang berada di Makkah. Seseorang yang tidak menghadap kiblat saat shalat, dihukumi tidak sah, kecuali dalam dua kondisi, yakni ketika shalat khauf dan shalat sunnah yang dilaksanakan di atas kendaraan. Hal ini dinyatakan oleh Imam Abu Ishak al-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syᾱfi’i sebagai berikut:

 استقبال القبلة شرط في صحة الصلاة إلا في حالين في شدة الخوف وفي النافلة في السفر[1]

Artinya: “Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat kecuali dalam dua kondisi, yakni ketika kondisi teramat bahaya (perang berkecamuk) dan shalat sunnah yang dikerjakan saat perjalanan”. Terkait kewajiban menghadap kiblat saat shalat, memiliki dua kondisi yang berbeda dan berakibat kepada konsekwensi hukum yang berbeda pula. Bila Ka’bah tampak langsung di depan mata, maka wajib menghadap ‘ain (dzat) Ka’bah tersebut. Namun para ulama madzhab berbeda pendapat bila dalam kondisi jauh dari Ka’bah, sebagaian ulama dari satu madzhab berpendapat bahwa yang wajib dihadap adalah ‘ain (dzat) ka’bah dan sebagian madzhab yang lain berpendapat yang wajib dihadap hanyalah arahnya saja. Berikut penulis paparkan perbedaan pandangan ulama madzahib arba’ah dalam memaknai kewajiban menghadab kiblat saat shalat bila dalam keadaan jauh dari Ka’bah:

 1) Madzhab Hanafi Ulama Madzhab Hanafi berpendapat perihal menghadap kiblat dalam shalat bila jauh dari Ka’bah, adalah cukup dengan menghadap arahnya, tidak harus menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah. Pendapat ini sama dengan pandangan dalam madzhab Maliki, sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni berikut:

 وذهب الحنفية والمالكية إلى أنّ الواجب استقبال جهة الكعبة[2].

 Artinya: “Ulama madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa sesungguhnya yang wajib adalah menghadap arah Ka’bah”. Terkait kewajiban menghadap kiblat saat shalat bila jauh dari Ka’bah, Syaikh Abdurrahman Al-Jazari menjelaskan pandangan ulama madzhab Hanafi sebagai berikut:

 الحنفية قالوا: من يجهل القبلة ويريد أن يستدل عليها لا يخلو حاله إما أن يكون في بلدة أو قرية. وإما أن يكون في الصحراء ونحوها … فإن كان الشخص في بلد من بلدان المسلمين. وهو يجهل جهة القبلة. فإن له ثلاث حالات: الحالة الأولى: أن يكون في هذه البلدة مساجد بها محاريب قديمة. وضعها الصحابة أو التابعون … وفي هذه الحالة يجب عليه أن يصلي إلى جهة هذه المحاريب القديمة[3].

Artinya: “Ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa seseorang yang jahil akan kiblat dan berencana untuk mencari petunjuknya, maka tidak akan sunyi keadaannya adakala berada dalam sbuah ngeri atau perkampungan dan adakala berada di padang atau seumpamanya… Maka jika sseorang tersebut berada di suatu negeri orang-orang Islam, dan dirinya tidak mengetahui arah kiblat, maka berlaku baginya tiga kondisi. Kondisi yang pertama adalah dalam negeri tersbut ada mesjid-mesjid yang mempunyai mihrab masa dahulu yang dibuat oleh para sahabt dan para tabi’in, maka dalam keadaan ini wajib atasnya untuk sembahyang menghadap searah mihrab terdahulu tersebut”

. الحالة الثانية: أن يكون جهة ليست بها محاريب قديمة. وفي هذه الحالة يجب أن يعرف القبلة بالسؤال عنها[4] Artinya: “Keadaan yang kdua adalah keberadaan orang tersebut di arah yang tidak ada mihrab masa lalu di tempat tersebut. dan pada keadaan ini wajib atasnya mengetahui kiblat dengan cara menanyakannya”.

 الحالثة الثالثة: أن لا يجد محراباً ولا شخصاً يسأله، وفي هذه الحالة عليه أن يعرف القبلة بالتحري، بأن يصلي إلى الجهة التي يغلب على ظنه أنها جهة القبلة[5]

Artinya: “Kondisi yang ketiga adalah tidak ada mihrab dan tidak ada orang yang bisa ditanyai. Maka pada kondisi ini wajib atasnya untuk mengetahui kiblat dengan ber-ijtihᾱd, dengan cara seseorang tersebut shalat ke arah yang didominan oleh sangkaannya bahwa arah tersebut adalah arah kiblat”

. أما إن كان مسافراً في الصحراء ونحوها من الجهات التي ليس بها سكان من المسلمين، فإنه إذا كان عالماً بالنجوم، ويعرف اتجاه القبلة بها أو بالشمس أو القمر، فذاك، وإن لم يكن عالماً ووجد شخصاً عارفاً بالقبلة، فإنه يجب عليه أن يسأله. وإذا سأله ولم يجبه، فعليه أن يجتهد في معرفة جهة القبلة بقدر ما يستطيع، ثم يصلي[6] Artinya: “Adapun jika keadaan orang tersebut dalam musafir di lapangan atau seumpamanya yang tidak ada tempat tinggal orang-orang muslim, maka jika dirinya mampu mengetahui kiblat dengan bintang, dan mengetahui arah menghadapnya dengan bintang tersebut atau dengan matahari atau bulan, maka lakukanlah demikian. Namun jika dirinya tidak mungkin mengetahuinya dan bertemu dengan orang yang mengetahui kiblat, maka wajib atasnya untuk bertanya, tapi bila saat ditanya dan tidak mendapat jawaban, maka wajib atasnya ber-ijtihᾱd untuk mengetahui arah kiblat dengan ukuran semampunya, kemudian laksanakan shalat”. Dari keterangan ini tampak jelas bahwa yang wajib perihal menghadap kiblat bagi oang yang jauh dari Ka’bah menurut madzhab Hanafi adalah hanya wajib menghadap arah Ka’bah saja dengan konsekuensi bila seseorang berada di daerah pemukiman wajib atasnya mengikuti mihrab masjid masa lalu atau bertanya pada orang lain di tempat tersebut atau ber-ijtihad sendiri mencari ke mana arah kiblat. Bila dia berada bukan di daerah pemukiman orang Islam, maka wajib baginya ber-ijtihᾱd sendiri mencari arah kiblat, bila tidak bisa baru bertanya pada orang lain”.

 2) Madzhab Maliki Adapun dalam madzhab Maliki, ketentuan menghadap kiblat dalam sembahyang bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah sebagai berikut:

 المالكية قالوا: يجب على من كان بمكة أو قريباً منها أن يستقبل القبلة بناء الكعبة، بحيث يكون مسامتاً لها بجميع بدنه، ولا يكفيه استقبال هوائها، على أنهم قالوا: إن من صلى على جبل أبي قبيس فصلاته صحيحة، بناءً على القول المرجوح من أن استقبال الهواء كاف[7]

 Artinya: “Ulama madzhab Malikiyyah berpendapat; Wajib atas orang yang berada di Makkah atau di dekatnya untuk menghadap kiblat pada fisik bangunan Ka’bah, sekira-kira keadaan orang tersbeut setentang Ka’bah dengan sekalian tubuhnya dan tidak cukup hanya menghadap hawa Ka’bah, berdasarkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa terkait seseorang yang shalat di bukit Abi Qubis, maka shalatnya sah, pendapat tersebut berdasarkan pendapat lemah dari pendapat menghadap hawa Ka’bah adalah memada”

. إذا كان المصلي في جهة لا يعرف القبلة، فإن كان في هذه الجهة مسجد به محراب قديم، فإنه يجب عليه أن يصلي إلى الجهة التي فيها ذلك المحراب[8]

 Artinya: “Apabila orang yang shalat berada di arah yang tidak diketahui kiblatnya, maka jika pada arah tersebut ada mesjid yang mempunyai mihrab masa dahulu, maka wajib atasnya untuk shalat ke arah yang dihadap mihrab tersebut”

. فإن وجد في جهة ليس بها محاريب وكان يمكنه أن يتحرى جهة القبلة، فإنه يجب عليه أن يتحرى، ولا يسأل أحداً، الا إذا خفيت عليه علامات القبلة، وفي هذه الحالة يلزمه أن يسأل عن القبلة شخصاً مكلفاً عدلاً، عارفاً بأدلة القبلة، ولو كان أنثى أو عبداً. هذا إذا كان أهلاً للتحري وللاجتهاد، فإن لم يكن أهلاً لذلك، فإنه يجب عليه أن يسأل شخصاً مكلفاً عدلاً عارفاً بالقبلة، فإن لم يجد من يسأله فإنه يصلي إلى أي جهة يختارها وتصح صلاته[9]

Artinya: “Maka jika seseorang tersebut berada di arah yang tidak ada mihrab masa lalu dan dia mungkin untuk mengetahui arah kiblat, maka wajib atasnya untuk ber-ijtihᾱd dan tidak bolh bertanya pada seorang pun kecuali tersembunyi tanda-tanda kiblat darinya. dan pada kondisi ini, sseorang tersebut wajib bertanya pada orang yang mukallaf lagi adil dan mengetahui tanda-tanda kiblat, sekalipun orang tersebut adalah perempuan dan hamba sahaya. Keadaan ini apabila orang tersebut adalah orang yang sanggup ber-ijtihᾱd, jika dia tidak sanggup ber-ijtihᾱd, maka wajib atasnya untuk bertanya pada orang lain yang mukallaf, adil dan mengetahui arah kiblat. Jika dia tidak mendapati orang tempat bertanya, maka dia harus shalat ke arah mana saja yang dia pilih dan sahlah shalatnya tersebut”. Dari uraian di atas dapat difahami bahwa dalam madzhab Maliki sebagaimana pula dalam madzhab Hanafi terkait kewajiban menghadap kiblat bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah hanya wajib menghadap arahnya saja, dengan cara berpedoman pada mihrab masa dahulu atau ber-ijtihᾱd sendiri mencari tanda-tanda arah kiblat atau dengan bertanya kepada orang lain yang mengerti arah kiblat.

3) Madzhab Syᾱfi’i Sedangkan dalam madzhab Syᾱfi’i perihal menghadap kiblat bagi orang yang jauh dari Ka’bah adalah wajib menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah, bukan arahnya. Pendapat ini hamper sama dengan pandangan dalam madzhab Hambali. Namun menurut Imam Hambali bila jauh dari Ka’bah yang wajib adalah menghadap arahnya saja. Sebagaimana yang dijelaskan Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni berikut:

فذهب الشافعية والحنابلة إلى أن الواجب استقبال عين الكعبة[10].

Artinya: “Ulama madzhab Syᾱfi’i dan Hambali berpendapat bahwa sesungguhnya yang wajib adalah menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah”. Pernyataan ini juga didukung oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah sebagai berikut:

 الشافعية قالوا: يجب على من كان قريباً من الكعبة أو بعيداً عنها أن يستقبل عين الكعبة، أو هواءها المتصل بها، كما بيناه أعلى الصحيفة، ولكن يجب على القريب أن يستقبل عينها أو هواءها يقيناً بأن يراها أو يلمسها أو نحو ذلك مما يفيد اليقين، أما من كان بعيداً عنها فإنه يستقبل عينها ظناً لا جهتها على المعتمد[11]

 Artinya: “Ulama Syᾱfi’iyyah berpendapat; Wajib atas seseorang yang berada di dekat Ka’bah atau jauh dari Ka’bah untuk menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah atau hawanya yang bersambung dengan ‘ain (fisik) Ka’bah tersebut sebagaimana yang telah kami nyatakan di bagian atas lembaran, akan tetapi bagi orang yang di dekat Ka’bah wajib menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah tau hawanya dengan secara yakin dengan cara melihat langsung atau menyentuhnya atau dengan cara lain yang dpat meyakinkan. Sedangkan bagi orang yang jauh, maka wajib menghadap ‘ain (fisik) cukup dengan dzhan (dugaan kuat), bukan menghadap arahnya berdasarkan pendapatt kuat”. Mkasud dari menghadap ‘ain Ka’bah adalah menghadap bangunan Ka’bah dan tempat yang setentang dengan bangunan Ka’bah, baik dari dasar bumi atau dari udara, berikut penjelasan dari Syaikh al-Syarwani:

 والمراد بعينها جرمها أو هواؤها المحاذي إن لم يكن المصلي فيها[12]

Artinya: “Maksud dari ‘ain Ka’bah adalah bangunannya atau di udara yang setentang dengannya, ini jika orang yang shalat tersebut bukan di dalamnya”. Ada dua kondisi terkait menghadap kiblat yang akan memberikan konsekuensi hukum yang berbeda, hal ini dijelaskan oleh Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi sebagai beikut:

 فإن كان بحضرة البيت لزمه التوجه إلى عينه... وإن لم يكن بحضرة البيت نظرت فإن عرف القبلة صلى إليها وإن أخبره من يقبل خبره عن علم قبل قوله ولا يجتهد …وإن رأى محاريب المسلمين في موضع صلى إليها ولا يجتهد لأن ذلك بمنزلة الخبر وإن لم يكن شيء من ذلك نظرت فإن كان ممن يعرف الدلائل فإن كان غائباً عن مكة اجتهد في طلب القبلة لأن له طريقاً إلى معرفتها بالشمس والقمر والجبال والرياح … فكان له أن يجتهد كالعالم في الحادثة [13].

Artinya: “Apabila ia berada di dalam bait (Masjidil Haram), maka wajib baginya menghadap ‘ain kiblat… Apabila ia tidak berada didalamnya, maka dilihat dulu, jika ia tahu letak kiblat, maka sholat menghadap arah tersebut, jika ada seorang terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar tersebut dan tidak perlu ber-ijtihᾱd lagi…jika ia melihat mihrab muslimin di suatu tempat, maka shalat menghadap ke arah mihrab tersebut dan tidak perlu ijtihᾱd, karena hal itu sama saja seperti sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun, maka dilihat dulu, jika ia adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, sedangkan kondisinya jauh dari Makkah, ia mesti berijtihᾱd mencari arah kiblat menggunakan metode bisa dari melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup…maka wajib baginya ber-ijtihᾱd sebagaimana orang alim ber-ijtihᾱd persoalan fiqh terbaru”. Dari ta’bir di atas bisa dipahami bahwa jika seseorang berada di dalam Masjidil Haram, maka yang dihadap olehnya haruslah “benda” Ka’bah itu sendiri dengan secara yakin. Jika ia berada di luar Masjidil Haram, termasuk di Indonesia, maka menghadap fisik Ka’bah cukup dengan dzhan (dugaan kuat). Kendatipun ada sebagian ulama madzhab Syᾱfi’i yang membolehkan manghadap kiblat dengan arah Ka’bah saja, namun hal tersebut diluruskan oleh Syaikh Abdurrahman Ba’alawi, dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin yang berpendapat bahwa ketentuan bolehnya menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah), itu bila seseorang tidak mengetahui tanda-tanda letak geografis persis dari fisik Ka’bah, berikut keterangan beliau:

 مَحَلُّ اْلإِكْتِفَاءِ بِالْجِهَّةِ عَلَى الْقَوْلِ بِهِ عِنْدَ عَدَمِ الْعِلْمِ بِأَدِلَّةِ الْعَيْنِ إِذِ الْقَادِرُ عَلَى الْعَيْنِ إِنْ فُرِضَ حُصُوْلُهُ بِاْلإِجْتِهَادِ لاَ يُجْزِيْهِ اسْتِقْبَالُ الْجِهَّةِ قَطْعًا وَمَا حَمَلَ الْقَائِلِيْنَ بِالْجِهَّةِ ذَلِكَ إِلاَّ كَوْنُهُمْ رَأَوْا أَنَّ اسْتِقْبَالَ الْعَيْنِ بِاْلإِجْتِهَادِ مُتَعَذِّر [14]

Artinya: “Ketentuan cukup menghadap arah (berdasarkan atas pendapat demikian) adalah saat tidak mengetahui tanda-tanda keberadaan fisik Ka’bah (a’inul Ka’bah). Karena orang yang mampu mengetahui Ka’bah bila diandaikan bisa dihasilkan dengan ber-ijtihᾱd, maka ia tidak cukup menghadap arah saja secara pasti (tanpa khilafiyyah). Tidak ada yang mendorong ulama yang membolehkan menghadap ke arah Ka’bah melainkan mereka memandang bahwa menghadap Ka’bah dengan berijtihᾱd itu sulit dilakukan”. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam madzhab Syᾱfi’i terkait perihal menghadap kiblat, menurut pendapat kuat yang wajib adalah menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah, bukan arah Ka’bah. Bila orang tersebut jauh dari Ka’bah, maka dia harus mencari keberadaan ‘ain (fisik) Ka’bah dengan dzhan (dugaan kuat). Jika ia tahu arah kiblat, maka sholat menghadap arah tersebut, jika ada seorang terpercaya yang mengabarinya, maka terima kabar tersebut dan tidak perlu ber-ijtihᾱd lag. Jika ia melihat mihrab muslimin di suatu tempat, maka shalat menghadap ke arah mihrab tersebut dan tidak perlu ijtihᾱd, karena hal itu sama saja seperti sebuah kabar. Jika tidak ada sesuatu pun dan ia adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, maka ia mesti ber-ijtihᾱd mencari arah kiblat menggunakan metode dari melihat matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup, maka wajib baginya ber-ijtihᾱd sebagaimana orang alim ber-ijtihᾱd persoalan fiqh terbaru”. d) Madzhab Hambali Sebagaimana penjelasan di atas bahwa dalam madzhab Hambali wajib menghadap kiblat dengan menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah langsung bagi orang yang dekat dengan Ka’bah, Namun bila jauh dari Ka’bah maka yang wajib hanya menghadap arahnya saja, berikut keterangan dari Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi dalam Hasyiyyah-nya:

واعتبر الإمام مالك الجهة، والإمام أحمد اعتبر العين مع القرب والجهة مع البعد، واعتبر الإمام أبو حنيفة جزءا من قاعدة، مثلث زاويته العظمى عند ملتقى بصره[15]

Artinya: “Imam Malik meng-i’tibar makna arah, sedangkan Imam Ahmad meng-i’tibar makana ‘ain bagi orang yang dekat dan makna arah bagi orang yang jauh. Adapun Imam Abu Hanifah meng-i’tibar makna juzuk (bagian) dari qaidah: “Tiga sudut Ka’bah adalah bagian terbesar yang tampak saat memandangnya”. Ibn Qudamah al-Maqdisi salah seorang ulama madzhab Hambali juga menyatakan hal yang sama dalam karya beliau sebagai berikut:

 الثاني: من فرضه إصابة جهة الكعبة، وهو البعيد عنها فلا يلزمه إصابة العين، لقول النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «ما بين المشرق والمغرب قبلة»[16]

Artinya: “Keadaan yang kedua adalah seseorang yang hanya wajib tepat menghadap arah Ka’bah, yaitu orang yang jauh dari Ka’bah. Maka tidak wajib baginya tepat menghadap ‘ain fisik Ka’bah, karena sabda Nabi saw; “Diantara timur dan barat adalah kiblat”. Dalam madzhab Hambali yang menjadi salah satu poin pandangan yang berbeda dari madzhab yang lain terkait masalah kiblat menjadikan syadzarwan (pondasi Ka’bah) atau bagian loteng Ka’bah menjadi bagian dari Ka’bah. Demikian penjelasannya:

 الحنابلة قالوا: إن الشاذروان وستة أذرع من الحجر وبعض ذراع فوق ذلك من الكعبة، فمن استقبل شيئاً من ذلك صحت صلاته [17].

 Artinya: “Ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa sesungguhnya syadzarwan (pondasi Ka’bah), enam hasta hajar aswad dan sebagian hasta di atasnya. Maka siapa saja yang menghadap satu bagian dari demikian, shalatnya dianggap sah”. Dari penjelasan ini dapat difahami bahwa pandangan madzhab Hambali hampir sama dengan pandangan dalam madzhab Syafi’iyyah terkait kewajiban menghadap kiblat dalam shalat, yaitu wajib menghadap ‘ain Ka’bah bila dekat dengan Ka’bah, namun bila jauh dari Ka’bah menurut madzhab Hambali hanya wajib menghadap arah saja. Dalil Menghadap Kiblat Dalam Shalat Menurut Al-Madzᾱhib Al-Arba’ah Dari keterangan di atas dapat difahami bahwa diantara ulama Al-Madzᾱhib Al-Arba’ah saling selisih faham dalam menetapkan hukum kewajiaban menghadap kiblat dalam shalat, terlebih lagi saat jauh dari Ka’bah. Menurut madzhab Syᾱfi’i wajib menghadap kiblat dalam shalat dengan cara menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah, baik bagi orang yang berada di dekat Ka’bah ataupun orang yang jauh, hanya sanya bagi orang yang dekat diwajibkan menghadap ‘ain Ka’bah secara yakin, sedangkan orang yang jauh cukup dengan dzhan (dugaan kuat). Berikut beberapa dasar dalil yang dijadikan ulama Syafi’iyyah sebagai dalil dalam menentukan kewajiban menghadap kiblat adalah wajib menghadap ‘ain Ka’bah, diantaranya yaitu:

 استدل الشافعية والحنابلة على مذهبهم بالكتاب، والسنة، والقياس. أما الكتاب، فهو ظاهر هذه الآية {فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام}[18].

Artinya: “Ulama madzhab Syᾱfi’i dan Hambali mendasari pendapat mereka dengan Al-Qur’an, Hadis dan Qiyᾱs. Adapun Al-Quran, maka hal itu adalah zahir ayat ini (Maka palingkanlah hadapan mu ke bagian Masjidil Haram)”.

 وأما السنة: فما روي في «الصحيحين» عن أسامة بن زيد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه أنه قال: «لمّا دخل النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ البيت دعا في نواحيه كلّها، ولم يصلّ حتى خرج منه، فلمّا خرج صلى ركعتين من قِبَل الكعبة، وقال: هذه القبلة» . قالوا: فهذه الكلمة تفيد الحصر، فثبت أنه لا قبلة إلا عين الكعبة. [19].

 Artinya: “Adapun dalil hadis adalah hadis yang diriwayat dalam dua kitab Shahih diambil dari Usamah ibn Yazid ra, beliau berkata; Manakala Nabi saw masuk ke dalam Ka’bah, beliau berdia pada tiap-tiap bagiannya dan tidak shalat hingga beliau keluar dari Ka’bah tersebut. Manakala beliau keluar, lalu beliau shalat dua raka’at menghadap Ka’bah, lantas beliau bersabda; Ini adalah Kiblat. Maka ulama madzhab Syafi;iyyah dan Hambaliyyah berpendapat bahwa kalimat tersebut adalah hasr (pengkhususan), maka pemahannya tidak ada kiblat lain kecuali itulah ‘ain Ka’bah”. وأما القياس: فهو أنّ مبالغة الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ في تعظيم الكعبة، أمر بلغ مبلغ التواتر، والصلاة من أعظم شعائر الدين، وتوقيفُ صحتها على استقبال عين الكعبة يوجب مزيد الشرف، فوجب أن يكون مشروعاً. [20].

Artinya: “Adapun qiyᾱs, maka qiyᾱs-nya adalah bahwa sesungguhnya bersangatan Rasulullah dalam memuliakan Ka’bah adalah sebuah urusan yang sudah sampai pada tingkat tawatur. dan shalat adalah sebagaian dari syi’ar agama terbesar. dan perihal ketergantungan sahnya di atas menghadap ‘ain Ka’bah membawa kepada bertambahnya kemuliaan, maka wajiblah bahwa hal demikian itu juga disyari’atkan”

. وقالوا أيضاً: كونُ الكعبة قبلة أمر مقطوع به، وكون غيرها قبلة أمر مشكوك فيه، ورعايةُ الاحتياط في الصلاة أمر واجب، فوجب توقيف صحة الصلاة على استقبال عين الكعبة. [21].

Artinya: “Ulama Syᾱfi’iyyah dan Hambaliyyah juga berargumen bahwa keadaan Ka’nah sebagai kiblat adalah sebuah urusan yang dapat dipastikan, sedangkan keadaan selain Ka’bah dijadikan sebagai kiblat adalah sebuah urusan yang masih diragukan. Sedangkan menjaga kehati-hatian dalam shalat adalah urusan yang wajib, maka wajiblah menggantungkan sah shalat di atas menghadap ‘ain Ka’bah”. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil madzhab Syᾱfi’i dan Hambaliah terkait kewajiban menghadap kiblat dalam shalat adalah didasari pada empat dalil, yaitu:

1.    Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 144, memahami dari kata “al-syathr” yang

berarti arah, maksudnya adalah arah yang setentang dan tepat antara diri orang yang shalat dan ‘ain (fisik) Ka’bah.

2.    Hadis Sahih yang berfaedah kepada hashar (pengkhususan) kiblat hanya pada ‘ain (fisik) Ka’bah.

3.     Di-qiyᾱs-kan dengan sikap Nabi yang sangat memuliakan Ka’bah, maka dalam shalat menghadap Ka’bah pun harus lebih dimuliakan lagi, maka tampaklah mulia Ka’bah dengan menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah itu sendiri, bukan arahnya.

4.    Ihthiyath (kehati-hatian) dalam memenuhi syarat sah shalat, yaitu menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah adalah sebuah kepastian terhitung sebagai kiblat, sedangkan arah Ka’bah masih diragukan sebagai kiblat. Sedangkan dalam madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hambaliyyah, wajib menghadap ‘ain (fisik) Ka’bah terkhusus hanya bagi orang yang dekat dengan Ka’bah, sedangkan orang yang jauh, hanya diwajibkan menghadap arah Ka’bah saja, berikut keterangannya:

 واعتبر الإمام مالك الجهة، والإمام أحمد اعتبر العين مع القرب والجهة مع البعد، واعتبر الإمام أبو حنيفة جزءا من قاعدة، مثلث زاويته العظمى عند ملتقى بصره[22]

Artinya: “Imam Malik meng-i’tibar makna arah, sedangkan Imam Ahmad meng-i’tibar makana ‘ain bagi orang yang dekat dan makna arah bagi orang yang jauh. Adapun Imam Abu Hanifah meng-i’tibar makna juzuk (bagian) dari qaidah: “Tiga sudut Ka’bah adalah bagian terbesar yang tampak saat memandangnya”. Berikut penulis paparkan beberapa dalil madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah, begitujuga yang digunakan dalam madzhab Hambaliyyah dalam menetapkan hukum wajib menghadap kiblat dalam shalat hanya wajib menghadap arahnya saja bila jauh dari Ka’bah, berikut penjelasannya:

 واستدل المالكية والحنفية على مذهبهم بالكتاب، والسنة وعمل الصحابة، والمعقول. أما الكتاب: فظاهر قوله تعالى: {فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ المسجد الحرام} ولم يقل: شطر الكعبة، فإنّ من استقبل الجانب الذي فيه المسجد الحرام، فقد أتى بما أمر به سواء أصابَ عين الكعبة أم لا [23].

Artinya: “Ulama madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah mendasarkan dalil, di atas pendapat mereka dengan Al-Qur’an, Hadis, amal sahabat dan rasional. Adapun Al-Qur’an, maka pendapat demikian berdasarkan zahir ayat; (Maka palingkanlah hadapan mu ke arah Masjidil Haram). Allah swt tidak berfirman; “syatr al-Ka’bah”. Maka sungguh orang yang menghadap sisi yang pada sisi tersbut merupakan Masjidil Haram, maka sungguh dia telah mengerjakan apa yang diperintahkan, baik hal tersebut mengenai ‘ain Ka’bah atau tidak”. وأما السنة: فقوله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ: «ما بين المشرق والمغرب قِبْلةٌ» . وحديث: «البيتُ قبلةٌ لأهل المسجد والمسجدُ قبلةٌ لأهل الحرم، والحرامُ قبلةٌ لأهل الأرض في مشارقها ومغاربها من أمتي» [24]. Artinya: “Adapun hadis maka Rasulullah saw bersabda; Arah antara timur dan barat adalah kiblat. dan hadis; Bait adalah kiblat bagi ahli masjid ini dan masjid ini adalah kiblat bagi ahli tanah haram, dan tanah haram adalah kiblat bagi ahli bumi yang ada di timur dan barat dari pada ummat ku”. وأما عمل الصحابة: فهو أنّ أهل (مسجد قباء) كانوا في صلاة الصبح بالمدينة، مستقبلين لبيت المقدس، مستدبرين الكعبة، فقيل لهم: إن القبلة قد حوّلت إلى الكعبة، فاستداروا في أثناء الصلاة من غير طلب دلالة، ولم ينكر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عليهم، وسُمّي مسجدهم (بذي القبلتين). ومعرفةُ عين الكعبة لا تعرف إلا بأدلة هندسية يطول النظر فيها، فكيف أدركوها على البديهة في أثناء الصلاة، وفي ظلمة الليل؟ [25]. Artinya: “Adapun praktik sahabat, maka demikian adalah praktik ahli (masjid kuba), mereka shalat subuh di Madinah menghadap Bait al-Maqdis dan membelakangi Ka’bah . Maka dikatakan kepada mereka; sesungguhnya kiblat sudah dipalingkan ke Ka’bah, maka mereka berbalik pada pertegahan shalat tanpa perlu mencari dalil, dan Nabi saw tidak memprotes mereka. Dan mesjid mereka dinamakan dengan (Dzil Qiblatain). Padahal untuk mengetaui ‘ain Ka’bah tidak dapat diketahui kecuali dengan dalil yang detil dan lama peninjauan padanya, maka bagaimana mereka dapat mengetahuinya secara detil saat sedang shalat dan dalam gelapnya malam”. وأما المعقول: فإنه يتعذر ضبط (عين الكعبة) على القريب من مكة، فكيف بالذي هو في أقاصي الدنيا من مشارق الأرض ومغاربها؟ ولو كان استقبال عين الكعبة واجباً، لوجب ألا تصحّ صلاة أحدٍ قط، لأن أهل المشرق والمغرب يستحيل أن يقفوا في محاذاة نيّف وعشرين ذراعاً من الكعبة، ولا بدّ أن يكون بعضهم قد توجّه إلى جهة الكعبة ولم يصب عينها، وحيث اجتمعت الأمة على صحة صلاة الكل علمنا أنّ إصابة عينها على البعيد غير واجبة {لاَ يُكَلِّفُ الله نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا} [البقرة: 286] [26]. Artinya: “Adapun dalil rasional, maka sesungguhnya keadaan adalah ozor untuk menjangkau ‘ain Ka’bah bagi orang yang dekat dengan Makkah, maka bagaimana dengan orang-orang yang ada diujung dunia dari timur dan barat?. Jikalau menghadap ‘ain Ka’bah adalah sebuah kewajiban maka sungguh tidak sah shalat seorang pun, karena ahli timur dan barat mustahil dapat berdiri pada setentang lebih lagi dan 20 hasta dari Ka’bah. dan pasti sebagaian mereka akan menghadap ke arah Ka’bah, tidak mengenai ‘ain-nya Ka’bah. Manakala telah sepakat ummat di atas sah shalat semua orang, maka dapat kita ketahui bahwa tepat mengenai ‘ain Ka’bah bagi orang yang jauh bukanlah kewajiban. (Allah tidak akan membebani satu jiwa pun kecuali yang disanggupinya). [Al-Baqarah ayat 286]. ومن جهة أخرى: فإن الناس من عهد النبي عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ بنوا المساجد، ولم يحضروا مهندساً عند تسوية المحراب، ومقابلةُ العين لا تُدرك إلا بدقيق نظر الهندسة، ولم يقل أحد من العلماء إنّ تعلم الدلائل الهندسية واجب، فعلمنا أن استقبال عين الكعبة غير واجب [27]. Artinya: “Dari sisi lain; Sesungguhnya manusia dari masa Nabi saw membangun masjid-masjid dan mereka tidak menghadiri seorang peneliti saat menyamakan mihrab. dan untuk setentang dengan ‘ain Ka’bah tidak akan diperdapat kecuali dengan kehalusan tinjauan seorang peneliti. Padahal tidak seorang pun ulama yang berkata bahwa sesungguhnya mempelajari tanda-tanda penelitian adalah wajib. Maka dapat diketahui bahwa menghadap ‘ain Ka’bah adalah tidak wajib”. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hambaliyyah terkait kewajiban menghadap kiblat dalam shalat adalah didasari pada empat dalil, yaitu 1. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 144, memahami dari kata “syathr al-masjid al-haram” yang berarti arah Masjidil Haram. Dalam ayat tersebut tidak dikatakan arah Ka’bah, maka yang diperintah hanyalah menghadap arah Masjidil Haram, bukan arah ‘ain Ka’bah. 2. Hadis shahih yang menyatakan bahwa tanah haram adalah kiblat bagi semua orang yang ada di timur dan barat. 3. Praktik para Sahabat saat memalingkan kiblat dalam shalat, mereka menghadap ke arah Ka’bah tanpa meneliti letak geografis ‘ain Ka’bah. Dalil secara rasional bahwa mencari tau letak geografis arah ‘ain (fisik) Ka’bah adalah suatu hal yang mustahil. Oleh karena itu hal demikian tidak diwajibkan dalam shalat, melainkan yang diwajibkan hanyalah menghadap arah Ka’bah.

 

Referensi:

[1]Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syᾱfi’i , juz. I, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.129

[2]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.III, (Bairut: Maktabah al-Ghazali, 1980) h.124

[3]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Bairut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, 2003) h.179

[4]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.179

[5]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.179

[6]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.179-180

[7]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.177

[8]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.180

[9]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.180

 [10]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam Cet.III, (Bairut: Maktabah al-Ghazali, 1980) h.124

[11]Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah…, h.178

[12]Syaikh al-Syarwani, Hasyiyyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Jld. I, (Beirut: Dar Al-Fikr 2009), h.484

[13]Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syᾱfi’i , juz. I, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.129

[14]Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1371 H/1952 M), h. 39-40

[15]Ahmad ibn Ahmad Al-Qulyubi, Hasyiyyah Qulyubi wa ‘Amirah, jld.I, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.151

[16]Ibn al-Qudamah al-Maqdisi, Al-Kafi fi Fiqh Imam Ahmad, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), h.234

[17]Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam al-Syᾱfi’i , juz. I, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h.129

[18]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125

[19]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125

[20]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125

[21]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.125

[22]Ahmad ibn Ahmad Al-Qulyubi, Hasyiyyah Qulyubi wa ‘Amirah, jld.I, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014), h.151

[23]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126

[24]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126

[25]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126

[26]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.126-127

[27]Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayah al-Ahkam…, h.127